Share !

Nasyid Memang Asyik


 


Beralih sedikit dari dunia cinta yang rumit, ada yang tak kalah asiknya. Ini sepetik pengalamanku dan teman teman, yang tak lain adalah para munsyid yang dibangunkan dari tidurnya.
Mungkin di sini akan ada sedikit cinta dari sahabat sahabatku. Aku dengan beberapa kesibukanku adalah sungguh satu dari beberapa hal yang bisa membuatku terusir dari bagian fase awal kehancuran nyanyian kebangsaan penyemangat hidupku yang jauh dari aura spiritual. Ada yang bersinergi positif dan ada pula sesekali negatif. Tapi kini ada satu yang positif, itu adalah sesuatu yang membawaku pada sedikit pencerahan dari kebutaaan material nyata dunia. Ini bukan semacam aliran iluminati atau freemason tentunya, tapi berbalik dapat membuatku bangkit dari kandang sapi yang pengap, yang membuatku hanya molor saja, lalu ngences. Ini terjadi semenjak aku diperkenalkan pada sesuatu yang mewadahi kami; orang yang secara kebetulan bercampur dengan penuh rasa kekeluargaan. Memang tak ada interest sama sekali dan no idea diawal-awal, apalagi harus mengurat-urat didalamnya. Tapi sepertinya ini bisa sedikit mengubur kesedihan dan sejenak mengalihkannya. Aku dengan pembawaan jiwa kepada seni, seni yang unik sekaligus membawaku pada lingkaran religius. Musik jenis ini tak kalah tenggelam dengan peradauan jenis musik lainnya di dunia sekarang ini. Mengandalkan efek-efek mulut seperti acapella. Terlatihlah kami memainkan mulut kami sampai lupa dunia. Kami langsung diberi pengarahan pada Mr.Q (kak Qurbi begitu kami sering sapa) tentang seni bermain mulut ini.
Inilah nasyid dengan budak-budak yang damai dan jinak saat terwadahi seperti ini.






Flashback sebelumnya. Perlahan-lahan rasa malas menggerogoti sisi hidupku dengan mata sayu-sayu menatap jalanan dengan cembung, sambil jalan bongkok. Begitulah fase awal masa-masa SMA-ku terawali. Namun sampai pada kejadian ditemukannya aku di pinggir jalanan oleh ibu-ibu bergamis saat aku sedang kehilangan jiwanya, dengan muslihat dan kata-kataannya yang mempengaruhi sebagian otak-kepalaku. Mungkin sudah jadi kewajiban baginya seperti itu, ceplas-ceplos menyampaikan ayat-ayat Allah. Beberapa mungkin tak bisa luput dari perkataannya, seperti yang terjadi pada kami yang terpaksa-memaksa hati nurani kami yang berandal menjadi sangat drastis alim. Macam macam suara unik kami keluar dari mulut kami. Sembari Mr.Q, Umi, dan Kak gendut-brewok bernama Rija melihati kami mencari karakter suara yang harmonis sekaligus realdramatis. Ini sulit sekali, aku yang aliran musikknya selalu di warnai debu debu vulkanik abang Jason Mraz dipaksa menyanyikan lagu berwarna realigius islam.


Di depan kelas si Umi menarik-ku kedepan papan dan memukul-mukul pundakku supaya suaraku yang tersangkut di batang tenggorokan bisa keluar dengan cara terpakasa. Sambil tergesa-gesa aku mengambil barisan lirik dari buku daftar lagu yang kubuat dari kertas HVS yang sudah seperti bungkus pecel. Kemudian memilih dan langsung menyanyikan lagu "Give Thanks to Allah". Disitulah kami disaring, yang sebelumnya juga seseorang yang sangat berjiwa seni dengan penuh pengalaman, dia berbadan besar dengan berat 110-120 Kilogram tak luput dari tangkapan Umi. Kami berdua sangat berbeda argumen dan tak searah sama sekali di awal awal, ini dibuktikan dari

1.    Berat dan tinggi badan yang sangat berbeda jauh
2.    Warna kulit (Ia berkulit putih yang terkadang merah jika suhu sedang tidak mendukung, dan aku punya kulit hitam dengan ke konstanan warna tak berpengaruh suhu dan kelembaban)
3.    Kami berbeda pergaulan sehingga sering kali slek


Agung sebut saja Ia si gendut. Ia orangnnya sangat ber-taste dan selera tinggi, royal-dan-loyal. Bisa dibilang anak gaul. Tapi kemudian waktu membawa kita untuk saling terbuka dan memberi sedikit celah ruang untuk bernafas dan menyadari tentang titik kekeluargaan kepada sesama manusia ada pada hatinya masing masing. Agung juga orangnya terbuka denganku untuk berbagi masalahnya padaku. Aku juga sering dibantunya. Dari sini kami simpulkan: persahabatan bisa berawal dari permusuhan dan perselisihan. Perselisihan dan permusuhan sering terjadi karena ada interaksi di dalam suatu ruang semesta. Untuk kalian yang punya musuh bebuyutan, berniat punya fikiran untuk menemaninnya?


Kami berdua, dengan Agung sebagai lead-vocal (satu-satunya vocal yang kami andalkan dan akui kehebatannya) dan aku sebagai bass, tak bisa apa-apa tanpa seorang tennor. Akhirnya Umi pun berhasil memaksa seorang model bermata sipit yang kuragui keimannnya maklum saja. Sebut saja Ia Kevin dan Ia sangat elegan berjalan dan dari setiap pergerakannya tak luput dari incaran kaum hawa dan kaum ibu. Ia keturunan Jawa-Cina yang kemudian hidayah datang padanya dari yang maha Pengasih, menjadikannya seorang mu'alaf. Pakaian yang dipakai tak lain dari distro-distro terkenal-mahalan dan hadiah sponsor agensinya. Memang sih seorang model asli seperti Ia tak diragukan lagi ketampannannya. Aku yang berangan-angan menjadi model dan artis ini, mungkin para produser akan memperhitungkan berulang ulang untuk mengajakku main iklan, tentunya bukan iklan parfum lelaki atau iklan minuman suplemen sejenis iklan yang keren-keren. Melainkan iklan bantuan untuk solidaritas kaum terpencil yang terkena bencana kemudian hanya di take tangannya saja saat menulis di kelas, lalu kelasnya bocor dan aku menghadap keatas atap dan di-shoot dari belakang tanpa menyertakan wajah-ku, lalu aku tak dapat honor seperakpun karena dianggap sebagai pemain penghibur saja. Hadirnya Kevin sontak membuat manusia geger, yang adam selalu iri, dan yang hawa selalu yang paling geger dan aku sendiri heran. Berbeda dengan Agung yang faseh memainkan, menekak-nekuk nada menjadi legato yang sudah peka terhadap otaknya yang bisa-spontan. Kevin yang bermuka Chinese itu ternyata tak kuduga sudah sangat menyatu dengan aliran melayunya dan rata-rata hafal semua lagu dari mulai indieband yang belum terkenal sampai ke boyband yang bemodel rambut mohawk belah pinggir. Terkadang aku heran, melayu=cina? Berbeda lagi dengan aku yang bersuara seperti tong sampah yang menguling-guling di gang karena kucing dan anjing yang beradu cakar, ingin memaksakan kehendak alam menyamakan suara abang Jason Mraz. Perbedaan karakter suara ini yang justru membuat kami lebih harmonis, dari sinilah sebuah keluarga harmonis tercipta.


Ari Saputra. Itulah nama seorang anggota kami yang tertua, bisa dibilang satu tahun angkatan kami, tapi 3 tahun lebih tua dariku. Untuk masalah materi dan tehnik bisa dibilang lumayan dan cukup mengerti. Disini Ia berperan menjadi Baritone. Suaranya tak kalah cempreng denganku. Kami yang buta nada ini tak bisa berkutik tanpa ada Ari. Sering kali ke-jayusan-nya kami rindukan disaat Ia sering absen latihan di waktu apel malam minggunya. Dibalik sosoknya yang sangat kritis terbawa budaya itu, sering kali juga aku tertawa dalam hati saat melihat gayanya yang se-ngangkang-an. Bahkan Ia merelakan untuk lengser dari Al-Falah Senior angkatan Al-Falah di atas kami untuk masuk ke Al-Falah Junior team nasyid kami. Ini menambah lengkap sebuah keluarga jihad kami, menjadi sebuah wadah yang harus di pertanggung-jawabkan setiap satu sama lain sedang kesulitan. Susah senang bersama.


Nyaris tak pernah terfikirkan apa sebenarnya yang membuat Ibunda Sri Andayani yang kami panggil Umi dalam bahasa arab itu, sangat tertarik dan bersusah payah mengurusi kami yang kaku akan siraman rohani dan didikan moral. Hampir tiap hari selalu merelakan tenaga waktu dan materi untuk mengurusi latihan kami. Merintis kami dari mulai titik air satu sampai menjadi lautan yang mengalir. Membelikan kue kue saat latihan yang kami rindukan. Tapi malah sering kali kami suka berfikir negatif tentangnya dan ngeyelisme. Rumahnya jadi markas kami. Tiap malam jumat kami diberi materi siraman rohani yang membuat kami perlahan-lahan bangun dari kegelapan. Umi adalah orang yang paling kami anggap sebagai ibu setelah ibu kandung kami. Saat kami ada job Ia lah orang yang sangat sibuk dengan gupek mempersiapkan kami. Ia Ibu sekaligus juga manager keuangan kami. Orang yang membantu lainnya adalah mama-nya Kevin, yang membuatkan kostum banyak sekali dan baik sekali kepada kami. Walau mereka cukup oke untuk masalah kantong, tetapi mereka royal dan loyal, juga tidak sombong. Mereka tidak pelit bahkan sangat apresiatif kepada kami. Ini semakin menyemangatiku dan menghapuskan persepsi meremahkan seni musik nasyid ini.


Kami takkan berhasil juga tanpa pelatih. Setelah kami bermain di dalamnya, oh tak kusangka sangat susah dan butuh skill otak yang tinggi untuk bermain musik! Kami juga disini dilatih keras kreatif dalam bekerja sama dan kolaborasi satu suara dengan suara lain. Tentunya ini tak mudah bila sendiri. Kak Qurbi-lah yang rela membagi ilmunya. Ia guru yang terampil dan kreatif, padahal Ia masih cukup muda. Ia berasal dari keluarga sederhana seperti kami, dan sering sekali mengerti dengan permasalahan kami. Kami juga tahu kak Qurbi sangat benci pisang. Ia tak kalah jayus dengan kak ari. Inilah seorang yang mengajarkan kami not, chord, harmonisasi, tempo, tekhnik pembagian suara dan lain lain. Kami tahu nada minor adalah la-do-mi dan nada mayor adalah do-mi-sol, itu adalah didikannya. Gayanya selalu stay-cool dimana berada, ini cocok dengan parasnya yang tampan. Tak bisa dibayangkan bila aku yang sepertinya dengan meniru gaya stay-coolnya itu, mungkin dunia akan bertolak denganku dan kembali pada zaman es dengan gajah-mammoth melindas lindas badanku. Makin hari dibawah tangannya, kami semakin terbawa dan semangat. Sempat suatu hari kami putus asa karena tak mudah dan lari dari kenyataan, namun Mr.Q selalu memberi cheer kepada kami. Mr.Q juga orangnya keras dan sangat kritis, jangan sekali-kali buat hatinya sakit.


Aku belum pernah tahu, jangankan tahu liat dan dengar saja belum pernah, sebelum para senior mengejutkan kami dengan pembawaan demo musik nasyidnya pada kami. Kami jadi tertarik. Senior kami adalah teladan kami yang membuat kami tak maju dengan sebelah mata. Mereka selalu menjelaskan dan memberi masukan kepada kami. Mereka bahkan tidaklah iri dengan posisinya yang digantikan oleh kami. Mereka juga adalah bagian dari keluarga kami. Aku juga sering terobsesi menjadi musyid yang sukses seperti mereka, dengan cerita cerita yang mereka bagi kepadaku. Disaat kami lemah dan makin redup merekalah yang membuat kami rindu dan semangat. Tak ada bedanya Al-Falah satu dengan lainnya.


Dukungan dari orang tua merupakan perbekalan kami. Begitu pula dukungan teman kami yang selalu hadir dan support tiap kami tampil dan bahkan saat latihan. Kami merupakan nasyid beruntung dengan dukungan besar dari orang orang yang kami cinta. Ratih, Nicke dan Fauziyyah adalah 3 wanita berjilbab yang menjadi backside kami yang mendorong kami dari sisi belakang kami, kemudian jadi cheerleaders kami. Yang paling jarang absen adalah Ratih yang juga sahabatku. Aku tak tahu apa yang akan ku balaskan pada mereka. Mungkin hanya perform yang bagus bisa membuat mereka tersenyum. Terimakasih untuk teman teman ku yang tersayang.


Awal perjuangan kami berawal dari seleksi nasyid tingkat Kota Bandar Lampung yang dihadiri dari beberapa kecamatan. Harapan kami tak pupus meski jadi juara II. Hari itu adalah perdana sekaligus hari yang membuat kami sangat deg-deg-an dan gugup sekali. Saat naik panggung adalah hal yang membuatku demam. Baru kali itu aku naik panggung dan bernyanyi. Seperti yang dilakukanku bila aku gugup adalah salah tingkah, aku sempat menaruh microphone sebelum mengucap salam penutup. Sungguh bodoh dan memalukan. Tapi kami maju ke tingkat provinsi karena juara I nya adalah bukan anak SMA melainkan Madrasah, seleksi untuk Madrasah ada sendiri. Beruntunglah kami kemudian kami jadi lebih bekerja keras yang matang. Sebelum seleksi selanjutnya setelah seleksi pertama kami mencari pengalaman dengan mengikuti setiap perlombaan nasyid di seluruh kota. Ini membawa nyata nama nasyid kami Al-Falah yang berarti pemenang. Apalagi saat seleksi yang bad impression sekali karna gelap dan berkesan sangat horor, tapi kami bisa menang walau tanpa microphone. Dan kami sangat senang dan bersyukur bisa berangkat ke Bekasi untuk seleksi nasional. Banyak kesan yang sangat tak bisa terlupakan dari nasyid ini. Apalagi saat berkali-kali mengangkat piala piala itu tinggi tinggi sangat bangga dan syukur sekali rasanya.


Kronologi Al-falah di Bekasi


21 Juli 2010. Aku hampir tak punya sodara kandung di Bekasi tapi sekarang aku punya keluarga yang menemaniku berangkat berjuang bersama. Ini adalah kesan pertamaku. Sebelumnya aku tak pernah pergi ke Ibu Kota atau Bekasi. Maklum, kami adalah keluarga yang sederhana dengan faktor lain tak ada hal yang ingin kami tuju selain menghambur-hamburkan uang. Indahnya anugrah Tuhan terlihat dari atas pesawat yang membawa kami dari Raden Intan ke Soekarno-Hatta. Aku sempat ingin menangis karena tak percaya bisa sejauh ini kami berjuang. Kesan selanjutnya adalah kesan negatif mati lampu di Bandara Internasional Soeta. Meski di Bandar Lampung tiap hari macet tapi tak separah di Ibu Kota ini. Macet dan panas menemani perjalanan kami dari Jakarta menuju Asrama Haji Bekasi. Sampai tibalah kami di Asrama Haji dan kembali bangga dan senang. Di asrama adalah bukan tempat yang tak luput dari panas, tak siang tak malam sama panasnya. Kami sangat tak terbiasa dengan suhu yang sedikit lebih panas dari Lampung. Tak heran kulit Agung dan Kevin jadi merah seperti babi. Sore hari pertama adalah waktu yang pas untuk orientasi kepada lingkungan Asrama. Dan malam itu juga langsung diundinya nomor peserta kami, kami memilih kak Qurbi sebagai pengambil nomornya. Satu persatu kontingen dari timur sampai barat mengambil nomor. Provinsi Jawa Timur mendapat nomor Satu dan kami sedikit lega. Sampai tibalah kami kontingen dari Lampung dengan tubuh gemetaran saat Mr.Q memasukan tangannya dan mengambil kertas dengan ekspresi mencurigakan.
 

"Berapa kak?"

(kak Qurbi hanya menggeleng kan kepalanya)

"Inilah dia kontingen Lampung dengan nomor …"

"jangan dua jangan dua" kami saling berbisik dengan tangan di atas muka

"tiga puluh tiga" suara beralun-alun

"waah, tiga-tiga gak percaya woy, keren kita kontingen terakhir"

(orang orang berseru wah)

"kak kak hebat tangan kak Qurbi ini"

"iya dong, ini berarti kita paling punya banyak waktu latihan buat matangin aransemen"

"iya, kak semoga nomor berkah"


Seru panitia, kami meloncat loncat keheranan dengan tepuk tangan salut dari orang orang. Dari 33 provinsi kami adalah provinsi paling terakhir yang ditampilkan. Tapi kami tak bisa tidur dan sangat badmood. Ada hal yang kompleks yang berat di tanggung otak kami yang masih cukup muda ini. Sempat selip juga partitur lagu garapan kami yang wajib dibawa di bandara. Pikiran-pikiran itu sampai menjadi penghambat tidur kami, hingga tiba esok hari.


22 Juli 2010. Kami bangun di jam sebelum fajar dan solat tahajud, lalu olahraga dan berkeliling asrama lalu solat shubuh, dan bersiap siap untuk pembukaan Pentas PAI IV tingkat Nasional. 33 wakil provinsi dari Nusantara hadir dan membaur kepada kami. Terlihat sekumpulan pelatih nasyid dari ujung ke ujung sedang berkumpul, bertukar pengalaman dan cerita. Aku juga sudah lihat semua saudara kami dari sabang-marauke. Bermacam bahasa, suku, dan kulit. Pawai dan pentasnya sangat berkesan dari setiap kontingen. Seru sekali. Sebagaimana kami juga tahu hari ini adalah tampilnya kontingen bernomor peserta 1-20. Kami hanya lihat sebentar karena menghindari pesimis. Dan kata kata sombong di butuhkan untuk membuat diri optimis. Kami keliling asrama dan melihat bazaar lalu membeli souvenir. Berkali-kali kami latihan keras. Tak lewat juga support dari jauh via SMS dari kawan-kawan dan keluarga. Di malam hari adalah gladi untuk esok hari sekaligus latihan panggung. Di malam ini kami juga tak bisa tidur dan gelisah. Sampai pada jam 3 pagi kami di bangunkan pembina untuk solat tahajud lagi. Sampai tak pernah putus dari solat tahajud.


23 Juli 2010. Waktu sangat singkat karena hari ini adalah hari jumat dan hari dimana kami sangat gugup. Akhirnya sampai pada ruangan yang kokoh dengan juri dan penonton yang awam. Ruangan yang semula kemarin hangat, AC yang ada disamping kami jadi terasa sangat dingin sampai tanganku beku. Kami semakin dekat dengan kenyataan. Sampai akhirnya kami di belakang panggung bertingkah aneh membuang jauh jauh rasa gugup, aku bergaya konyol dan loncat-loncat di panggung. Tetapi segelas air yang kupegang masih juga gemetaran. Aku masih gugup sekali. Membawa semua semangat mereka para supporter dan menentukan mimipi. Keluarlah kami dari belakang panggung yang gelap dan dingin, dan memberi salam kepada juri. Didepanku adalah seorang nasyid senior favorit kami Snada dan Justice Voice. Ohh, sungguh tak percaya. Kami harus profesional dan berbuat yang terbaik. Sampai pada akhir penampilan kami dan turun panggung dengan penuh haru, bisa selancar ini.


"Alhamdullilah, bagus dek!,"
kata kak Rija dengan tetes air mata dan mulut gemetaran memastikan keoptimisan kami.


"iya tah kak?"

"IYA HARUS YAKIN"


Lalu kami diajak jalan-jalan melupakan kegugupan tadi dan santai kembali sambil penasaran dengan grafik naik turun antara optimis dan pesimis antara masuk atau tidak ke babak final. Sampai pada sore hari pengumuman seleksi pertama dan sujud sukur kami kepada Allah yang telah mempercayai kami untuk maju ke babak final. Umi sampai menangis bangga sekali. Tentunya orang tua dan teman teman jadi lebih menambah supportnya kepada kami. Kami makin deg-degkan saat gladi malam di panggung untuk babak final di esok hari. Kami berkenalan satu dengan lain finalis. Salah satunya adalah Nusa Tenggara Timur. Merekalah sahabat Lampung yang sangat baik hati kepada kami. Agik (Kachong), Hambali, Ichsan, dan Yunus dengan pelatih mereka kak Syafrudin Asatoge yang baik. Di malam itulah perkenalan kami dengan orang NTT sahabat kami.


24 Juli 2010. Ini adalah hari terakhir kami di Bekasi dan tak kan pernah terlupakan, hari dimana kami harus buat kesan yang menarik. Ini titik puncak kewas-wasan kami. Kami akhirnya tampil di babak final bangga sekali mengangkat tangan dengan mata menghadap keatas membawa nama Allah sambil menyanyikan asma asmanya. Bergaya dengan rasa gugup yang sirna karena dukungan dari semuanya. Sampai kembali di bawah panggung dengan rasa lega dan senang sekali. NTT pun sudah perform dan kembali bersama kami. Mereka menepati janjinya untuk mampir ke kamar kami dan ngobrol-ngobrol, sebuah ikatan erat dari 2 suku yang berbeda dari canda tawa kami. Kami yang sering aneh dan tak mengerti dengan bahasa NTT bisa ngakak karena omongan mereka, dan mereka hanya bisa berkata "kaco kaco" dalam bahasa NTT. Mereka juga punya selera humor yang besar, kami juga saling bertukar budaya. Mereka punya tari sajojo, dan kami punya tari bedana. Mereka sering menyebutkan bahasanya. Aku sedikit mengerti dari iklan Aqua yang bahasanya bahasa NTT. Aku juga diajari sedikit bahasa NTT dengan mereka. Kak Syaf juga tak kalah baik pada kami, meski Ia cukup terkenal dan senior Ia bukan lah orang yang sombong. Pokoknya siang hari itu adalah hari yang tak bisa dilupakan dengan lelucon kami yang mempererat batin kami walau kami jauh.


Aku ingin hari ini adalah hari yang berkesan dan takkan terlupakan, namun sampai pada pengumuman di malam hari, mereka sudah sangat badmood dan kecewa turun naik dengan beban mendalam sepertinya. Aku tak kuasa melihat mereka, aku jadi ikut ikutan pesimis. Mental kami benar benar beban. Kami memakai baju jas yang besar dan agak sedikit lebay. Mungkin mental kami diberatkan pada baju ini. Baju ini Pede sekali, padahal kami belum tentu menang. Sempat kami keluar dari ruangan dan tak mau dengar pengumuman sampai pada akhirnya Kak Qurbi dan Kak Syaf membujuk lagi dan memberi semangat. Saat di lapangan parkir Asrama Haji itu, kak syaf menasihati kami.


"kenapa, kalian ini?" (kak syaf datang menghampiri kami)

"ini bajunya, kak syaf?" sambil dengan paras kesal menarik-narik baju

"IYA LEBAY BENER MEMANG UMI INI" (agung kesal sekali)

"tapi ini sama kaya NTT toh warnanya?" kak syaf meyakinkan kami

"iya kak tapi ke-gedean bener"

"LEBAY namanya bukan kegedean, kayak yakin aja menang"

"sudahlah, pakai saja yang laen juga su pake to?"

"Jasnya kaya pengawal pejabat kak, malu kalo kalah"

"yasudah naik saja, yakinlah kita sanggup, kita buktikan disini kita bisa dapet sodara, bukan cuma bersaing to?"

(sambil menepuk pundak)

(kami terbujuk dan naik keatas aula)


Dari sana Tim nasyid NTT dan yang lainnya sudah menanti. Walau sudah pada penutupan dan pengumuman kami masih saja badmood dan stress. Kini aku yang sangat pesimis dan deg-degan, padahal Ari, Kevin, dan Agung sudah bergabung sambil bercanda tawa dengan yang lain. Sampai nama kami disebutkan pada Juara VI dan aku sedikit kecewa dan pecah-tangis karena geregetan, tangisan ini membuat aku jadi makin penasaran untuk mencoba di tahun depan dan kesempatan lain. Sedangkan teman teman lain tetap bangga, seharusnya aku bersyukur seperti mereka. Aku menghapus air mata dan menghampiri detik detik terakhir itu, tak mau kulewatkan dengan tangisan saja. NTT dengan juara IV dan disusul Jogja, Bali juara II dan III kemudian Jawa Tengah-lah sebagai Juara 1-nya. Itu sekaligus perpisahan kami dengan NTT dan kontingen lain, sedih sekali meningalkan mereka. Kapan lagi kita bisa bertemu. Sampai tengah malamnya Hambali dan kawan kawan rela mengantar kami ke depan asrama membantu packing dan mengucapkan salam perpisahan. Kami sempat bertukar kenang-kenangan. Kami membawa songko (dalam bahasa umum: peci) aku memberi gantungan kunci al-falah pada Hambali. Aku haru sekali setiap kali suara mereka yang semakin kecil dada-dada dan serasa tak mau pisah dengan mereka. Aku tak bisa bayangkan kapan kami bisa bertemu kembali.

"yang bener ya maen bassnya," pesan singkat terakhir dari Agik sambil dengan gaya khasnya.

"iya, bro. katong pasti berusaha bro" (mengikuti bahasa mereka)

"oke, katong tunggu bro. katong tantang lo bro"

"iya iya bro jangan lupa sama kami ya bro"

"yang bener lo latihannya ko, sonde lupa kami juga ya bro"


Aku ingin sekali ke NTT dan kembali berkumpul seperti di Asrama itu bermain kata bahasa NTT. Tapi bayangkan Lampung-NTT adalah dua provinsi yang cukup jauh di tempuh kaki. Disaat kami rindu mungkin kami hanya bisa SMS-an dan Telfonan atau memandangi songko pemberian mereka dan foto foto vigura kami dengan mereka. Tangisan, tawa, suara gemuruh-gemuruh semangat itu tak akan pernah kulupakan. Dan keluarga menyambut bangga aku yang membawa kemenangan. Akhir akhir ini Hambali dan Kachong jadi jarang SMS kami. Maklum, mereka sibuk kami jugapun sama sama sibuk, tapi kita semua tetap rindu satu sama lain. Saking rindunya saat melihat pin peserta, gantungan kunci dan setiap memakai baju yang ku beli dari sana, sesekali aku ingin meneteskan air mata. Ini terasa hanya sekali saja, kurasa. Mudah mudahan kami masih dipertemukan dengan mereka dengan kebanggaan nasyid masing masing, karena kurasa nasyid memang asyik.

0 komentar:

Visitor Hit