Share !

Surat Kisah Senja


Surat Kisah Senja


Langit senja dimana kami berdiri berdua di sana. Awannya menguning dan dinding-dinding rumah menjingga. Bayangan pohon yang hitam berdampingan dengan daun daun yang kering di sekitarnya. Ayo pulang sayang, hari sudah akan gelap. Hapuslah sedihmu, air matamu sudah cukup meluluhkan hati ini. Bukannya kita berjanji akan melangkah bersama ke masa depan? Terima kasih atas kasih sayang itu. Ayo kita pulang karena hati ini sudah deras mengalir, menahan setiap haru dari setiap kegigihanmu, setiap cinta ini yang tulus padamu. Setiap senyum yang terulang dengan melambat di kepalaku, terulang berulang ulang. Mungkin kau takkan pernah tahu, satu senyummu adalah tetesan haru dari balik mata ini karena telah bisa bersamamu. Sekarang senyum milikmu senyum terbaik di dunia. Terima kasih karena telah menunjukan kebahagiaanmu di depan gerbang itu, terima kasih karena telah sekali lagi tersenyum atas tanda bahagiamu. Senang bisa melihatmu bahagia. Beberapa langkah dari gerbang itu, bahkan aku masih akan melihatmu dari jauh, bergerak menjauh berpaling untuk pulang. Memastikan kau benar benar baik baik saja di balik wajah yang membelakangi dan kudengar langkah langkah yang lambat di balik tanaman tanaman rindang itu, melangkah memasuki rumah dan bertemu dengan ibu yang telah sabar menunggumu pulang. Dan aku hanya tersenyum-senyum sendiri sambil kemudian pergi. Pulang dengan sedikit rasa kesal dari setiap rumah itu mengecil, putih-hijau kemudian samar samar, dan kemudian menghilang, karena di saat seperti ini aku benci untuk berpisah darimu. Sampaikanlah salamku untuk ibumu, karena dari rendah hati dan kehangatan itu, aku merindukannya.


Sayang janganlah kau besedih. Lihatlah, sebenarnya bunga tengah mekar di tengah hujan ini. Indah dengan apa yang ada. Bahagia di tengah kesedihan. Apakah wanita-wanita seperti ini pantas untuk disakiti? Sebaiknya kau tahu bahwa aku mencintaimu, aku menyayangimu, aku berusaha. Berusaha memahamimu, berusaha meyakinkanmu, menanyakanmu ‘apakah kau baik-baik saja?’, berusaha melihatmu tersenyum kembali, berusaha melupakan kesedihanmu, sungguh semuanya itu impianku. Menjadi sosok yang berguna untukmu, membantu membuatmu bahagia.

Hujan turun. Air dari ranting-ranting pohon yang kurus jatuh ke bumi. Butirannya halus dan membasahi jalanan, sekejap sisi jalanan tergenang air. Percikannya membasahi wajah dan terbias dingin. Menyamarkan yang mana titik air mata dan yang mana yang benar benar hujan. Tapi hati ini tahu sorotan mata mana yang lemah, dan sorotan matamu memudar tanda ada duka di balik tirai matamu dan ‘apa yang bisa kulakukan?’ merunduk dan mengusap-usap kening. Aku tak kuat menatap matamu. Di sana ada banyak hal yang membuatku belajar tegar dari setiap butir cinta yang mengalir, meluluhkan hati ini, menyadarkan sesuatu yang salah ku mengerti. Di gubuk itu, dan berdua kita bersandar di kayu itu, menatap kosong jalanan sampai kesedihan ini mereda, sampai langit tak lagi kelabu. Sandaran yang keras namun hangat di tengah hujan. Menyempatkan diri dari setiap keheningan, berbagi cerita dan kata kata kusut. Tak menghiraukan suara yang lalu lalang, serasa sunyi hanya ada suaramu dan suaraku yang dengan malu-malu mengoceh satu sama lain. Memang terasa sekejap hujan kemudian terhenti, namun berlama lama waktu untuk mengenangnya. Terekam dan terulang-ulang di dalam sebuah fikiran manis duduk duduk kita di bawah dan menunggu hujan. Hingga takkan pernah terlupakan. Selamanya tak ingin melupakanmu.

Hujan lain. Oh, Sayang? Ingatkah di hujan lain yang temani kita? Ingatlah hujan ini yang hapuskan air matamu. Kemudian kakek-kakek tua dengan kumis kasar yang tersenyum di tengah tangismu, Ia tahu persis dunia sebenarnya indah. Tersenyumlah seakan-akan rindu itu terobati dan telah pergi. Setelah air-air mata di pipimu jatuh dan menyentuh bumi, maka dunia akan tahu dan aku akan melihatmu indah dan tegar di antara seluruh wanita di bumi. Sayang janganlah kau pergi tinggalkanku, karena ku yakin tak akan bisa apa apa tanpamu. Bukankah kita akan bahagia bersama sampai kakek-nenek? Perdengarkanlah pada Tuhan doa kita ini. Karena yang kuinginkan adalah kesetiaan. Aku takkan melepaskan tanganmu. Rasanya tak ingin pergi darimu. Aku sungguh mencintaimu. Aku ingin menjagamu sampai sisa hidupku. Oh sayang. Sungguh ini bukan sekedar kata-kata saja karena luapan kata-kata ini tak cukup padan dengan apa yang kurasa. Di butir tinta yang ku tuliskan di tengah hujan di langit senja ini, aku merekam dengan jelas setiap fikiran bersamamu yang terima aku dengan segala kekuranganku. Sungguh Sayang, jangan pernah kau pergi dan melupakanku. Karena ku yakin hanya ada satu sayang dalam hati ini, dan kau temukan sendiri hanya untukmu, untukmu selamanya. Di benak ini tak ada sedikitpun fikiran kau akan pergi tinggalkanku, karena semuanya telah kupercayakan dari saat kita jalani ini, karena kuyakin Tuhan akan membalas kesetian ini dengan kesetian. Setiap bunyi bunyi hujan ini meresonansi apa yang telah kita jalani bersama. Memang tak seindah barisan biasan pelangi hujan di ufuk timur, kita jalani sederhana dengan apa adanya. Haru ini menyelimuti dari setiap tetesan air mataku, karena tersadar engkau adalah titipan Tuhan, anugrah yang terindah, anugrah dari semua jawaban dari setiap doa-doa ini. Terimakasih Tuhan. Terimakasih atas pelangi sesungguhnya yang indah yang temani luar biasanya cinta ini.

Sayang. Memang tak banyak yang bisa kulakukan, tak banyak yang bisa kuberikan. Dari setiap malam aku terjaga dan tak hentinya memikirkan apa yang bisa kulakukan dan kuberikan padamu, lalu kepada diri sendiri tanya apa yang kupunya? dan jawab tak ada. Maaf atas ini, dan risau itu kemudian seketika pergi saat kuputar kembali perkataanmu ‘manusia tak seharusnya selalu merendah’ dan aku yakin kau terima aku apa adanya. Kusadar memang manusia takkan ada yang sempurna. Terimakasih Sayang. Terima kasih, karna kaulah memang yang terbaik. Karena kaulah yang datang dan setia di hidupku, yang terima atas segala kekuranganku. Tuhan pasti akan melihatmu indah, seperti halnya aku yang memandangmu jauh lebih indah dari percikan air hujan yang terbias surya, warnanya melemah-menguat di dalam jingga. Kini tersenyumlah untuk keduanya. Karena senyummulah yang sepadan mendampingi hujan.

Kata ini sampaikanlah pada sekecil wakil perasaan ini. Bahwa aku telah menemukanmu. Menemukan bahwa cinta itu indah walau kau tak pernah mendengarnya. Merancukan yang mana kelemahannya dan yang mana sisi kelebihannya. Mencoba meyakinkanmu walau hanya lewat kata kata seberapa kuatnya perasaan ini. Cinta kita lain dan indah, kita akan menjaganya selamanya, akan memahami dari setiap artinya. Kau lah cahaya yang membangunkanku di pagi hari, membangunkanku dari kebutaan sesuatu yang salah, yang seharusnya kata-kata itu untukmu. Sesal ini takkan mengalahkan kebanggaanku menemukanmu, karena sekarang kisah ini kutulis hanya untukmu. Kau tahu seberapa fokusnya aku bukan? Aku sungguh tak selamanya suka mendengar masa lalu. Nyatanya sekarang kita berdualah yang jalani hidup bersama, melangkah ke masa depan. Menemukanmu di dalam mimpi, dan mimpi itu menjadi kenyataan. Mengarungi hujan dan menghapuskan kesedihan saat bertanya ‘mengapa?’ dan kau bilang ‘baik-baik saja’. Duduk berdua dan kita berbagi tawa, tawamu menggaung di fikiranku. Indahnya mengalahkan bunga-bunga di musim semi. Masalalu tak akan nodai kisah kita Sayang.

Sayang. Mimpi-mimpi itu mengingatkanku selalu betapa semestinya kau pantas bersandar di pundakku. Membagi sedihmu, tapi kau selalu bilang ‘ini baik-baik saja’. Sungguh rasa sesal menyelimutiku, betapa tak bergunanya aku. Sungguh tak tahu hal apalagi yang bisa kuberikan padamu untuk membuktikan sayang ini selain dari menanyakan setiap sedihmu, membelai rambutmu dan menghapus airmatamu sampai benar benar itu kering. Aku sungguh mencintaimu, hanya kaulah seorang yang miliki hati ini. Di saat semua raga tak bisa penuhi keindahaan, ku harap kau masih bisa melihatku indah di dalam hati. Karena hanya engkau dan hati ini yang kupunya. Sayang, jangan pernah tinggalkan aku.

0 komentar:

Visitor Hit